Selasa, 23 Juni 2009

Sejarah perkembangan Golkar Sebagai Suatu Kekuatan Hegemoni

Orde Baru merupakan sebuah rezim yang bisa dikatakan sudah kekal di Indonesia. Walaupun fondasi struktural dari pemerintahannya sudah runtuh, tetapi sisa-sisa watak warisannya masih bertahan sampai hari ini. Soeharto, Golkar, dan Militer berikut akan dijelaskan bagaimana tiga aktor tersebut menjalankan mekanisme pemerintahan pada Zaman Orde Baru khususnya perkembangan dan peran Golkar menjadi sebuah instrument paling fital dalam hegemoni untuk mempertahankan kekuasaan rezim Orde Baru. tulisan ini akan menceritakan sejarah dari awal berdirinya Golkar hingga runtuhnya rezim Orde Baru.

Pada awal berdirinya Sekber Golkar terdiri dari 61 organisasi yang merupakan golongan fungsional yang non afiliasi dan kemudian meningkat menjadi 291 organisasi yang meliputi skala nasional dan local. Jumlah organisasi yang terlalu banyak membuat sulit untuk melakukan konsulidasi organisasi dan penyusunan langkah kedepan. Untuk mengatasi hal ini dibentuklah tim Sembilan yang membahas anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Sekber Golkar. Namun keberadaan AD/ART tidak menjamin solioditas organisasi terbentuk.

Musyawarah Kerja Nasional I Sekber Golkar dilakukan pada tanggal 2-11 Desember 1965. Mukernas ini bertujuan untuk mengkonsolidasikan kekuatan yang ada. Namun upaya tersebut gagal. Sekber Golkar yang berjumlah 291 organisasi berkurang menjadi 201 organisasi ketika Muhamadiyah dan Al Washliah keluar dari Sekber Golkar. Kemudian Mukernas dilakukan kembali pada tanggal 2-7 Novenber 1967 bahwa konsilidasi organisasi dilakukan selama enam bulan. Namun, dalam waktu yang ditentukan konsilidasi tidak dapat tercapai juga. Krisis konsilidasi yang terjadi menghasilkan surat keputusan Ketua Umum Sekber Golkar No. 507/1969 yang menyederhanakan organisasi menjadi tujuh kelompok diantaranya, Kino Soksi, Kino Kosgoro, Kino MKGR, Kino Ormas Hankam, Kino Karya Profesi, Kino Gakari, dan Kino Karya Pembangunan. Kemudian, Organisasi ini terhimpun dalam Sekber Golkar ikut pemilu dengan dengan tanda gambar yang tidak sesuai dengan dengan organisasi masing-masing.

Setelah menyederhanakan organisasi, jatuhnya pemerintahan presiden soekarno dan diangkatnya Soeharto menjadi presiden, dimanfaatkan dengan baik oleh Sekber Golkar untuk mempersiapkan diri untuk pemilu 1971. Pengaruh PNI yang masih ada dalam masyarakat di lemahkan dengan melarang melakukan rapat terbuka, sedangkan pengaruh masyumi dilumpukan dengan mengganti namanya menjadi Partai Muslim Indonesia (Parmusi), dimana pemimpin partainya diangkat orang yang tidak memiliki keanggotaan Masyumi sehingga mudah di control pemerintah dan ABRI.

Sebagaimana pemilu pertama yang di ikuti oleh Golkar dan dimenangkan dengan perolehan suara mayoritas 62,8% dengan berbagai macam faktor diantaranya, golkar diidentikan dengan pemerintah, terdapat kelemahan-kelemahan parpol dimasa lalu, diajukannya hal-hal yang nyata dalam kampanye, rakyat tidak mengerti dengan hal-hal yang abstrak seperti isu demokrasi dan hak asasi manusia, adanya organisasi yang efektif, dan peran cendikiawan dan kesatuan aksi.

Dimulainya pemerintahan Ordebaru ditandai dengan tiga hal. Diantarannya, adanya dwifungsi ABRI sebagai alat pertahanan yang aktif dalam politik, Supersemar, surat kuasa yang diberikan dari presiden soekarno kepada soeharto untuk melanjutkan pemerintahan, UUD 1945 menjadi konstitusi utama dalam berbangsa dan bernegara, dengan kemenangan ini Sekber Golkar mengganti nama menjadi Golkar melalui Musyawarah Nasional pada tanggal 4-9 September 1973 di Bali.

Kebijakan Orde Baru yang Memperkuat Posisi Golkar

Kebijakan pertama yang sangat mendukung kekuasaan Golkar pada Pemerintahan Orde Baru adalah fusi partai politik yang menjadikan dua partai diantaranya, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) (materialis) yang merupakan golongan sekuler, terdiri dari PNI, IPKI, Murba, Parkindo, Partai katolik, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) (spiritual), yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti. kedua, masa mengambang, membatasi aktifitas parpol sampai ke daerah tingkat II, ketiga, politisasi birokrasi dapat dilihat dari beberapa bentuk, adanya dukungan dari PNS terhadap Golkar setiap pemilunya dan adanya pemotongan dana proyek dari pimpinan daerah untuk dana politik Golkar, keempat, jabatan kepala dewan Pembina Golkar dipegang langsung oleh Presiden Soeharto, Kelima, asas tunggal Pancasila, dalam UU no.3 tahun1985 menyebutkan partai politik dan Golkar berasaskan Pancasila, keenam, pemerintahan Orde Baru melakukan korporatisasi, ketujuh, pengkaderan golkar yang menggunakan sistem orsos marsinal merupakan mesin politik yang dilahirkan oleh Golkar sendiri dan orsinal mass yang merupakan pengkaderan diluar organisasi underbouw Golkar, Kedelapan,sumber dana golkar banyak sekali dari asset-aset milik Negara seperti BUMN dan para pengusaha.

Organisasi golkar mempunyai jaringan sampai ketingkat II, organisasi golkar punya kelompok golongan fungsional. Golkar bekerjasama dengan ABRI dan KOPRI untuk menyebarkan pengaruh di daerah tingkat II. Didalam parlemen Golkar dinaungi oleh Fraksi Karya Pembangunan, faksi ini dikontrol langsung oleh DPP, meskipun begitu kontrol utama tetap dibawah Dewan Pembina Golkar.

Pondasi yang dibangun oleh Orde Baru ambruk karena soeharto sebagai simbol kekuasaan saat itu jatuh. Dengan adanya krisis ekonomi dan politik. Selain itu, krisis politik didalam tubuh Golkar ditandai dengan kinerja Golkar yang semu, sebagai alat perpanjangan tangan oleh soeharto. Kemudian mundurnya beberapa mentri yang berasal dari Golkar diantaranya Akbar Tanjung, Ginanjar katrasasmitra, Tantri Abeng, dan Theo L. Sambuaga. Adanya desakan dari MPR/DPR, mundurnya beberapa mentri dari kabinet membuat presiden Soeharto mundur dari kekuasaan pada tanggal21 mei 1998.

Kemudian kepemimpinan Golkar dilanjutkan dengan kepemimpinan Akbar Tanjung yang terpilih dalam Munaslub partai golkar tahun 1998. Yang meberikan tampuk kepemimpinan kepada Akbar Tanjung priode (1998-2004).

Daftar Pustaka

Tanjung, Akbar. 2007. The Golkar Way Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era

Transisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Suryadinata, Leo, 1992, Golkar dan Militer Studi Tetang Budaya Politik, Jakarta : LP3ES

Rifles, MC, 2004, Sejarah Indonesia Modern, Jakarta : Serambi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar